Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Yang tiada sesembahan yang benar selain Dia. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya sang pembawa rahmat bagi seluruh manusia. Amma ba’du.
Salah satu syarat untuk diterimanya ucapan laa ilaha illallah adalah mengilmui atau mengetahui maknanya. Disebutkan dalam hadits sahih dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan mengetahui laa ilaha illallah niscaya dia masuk surga.” (HR. Muslim)
Makna dari kalimat laa ilaha illallah itu adalah menafikan atau menolak segala bentuk ibadah kepada selain Allah dan menujukan ibadah kepada Allah semata. Sehingga makna dari laa ilaha illallah adalah tiada sesembahan yang benar kecuali Allah (lihat Syarh Risalah Miftah Daris Salam oleh Syaikh Shalih bin Abdillah al-Ushaimi hafizhahullah, hal. 12)
Setiap rasul mendakwahkan kepada kaumnya kalimat laa ilaha illallah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (al-Anbiya’ : 25).
Kalimat laa ilaha illallah ini mengandung perintah beribadah kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Isi laa ilaha illallah juga tercermin dalam kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” Karena makna dari kalimat ini adalah ‘Kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Mu ya Allah, dan kami tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Mu’ (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah, hal. 58 cet. Madarul Wathan)
Karena itulah kaum musyrikin Quraisy yang didakwahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak seruan kalimat tauhid. Mereka paham bahwa makna kalimat itu adalah menjadikan segala bentuk ibadah untuk Allah dan wajibnya meninggalkan semua sesembahan selain-Nya. Allah berfirman mengisahkan perkataan mereka (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- itu hendak menjadikan ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) itu menjadi satu ilah/sesembahan saja? Sesungguhnya hal ini benar-benar sesuatu yang mengherankan.” (Shaad : 5)
Hukum tauhid inilah perintah paling agung yang selalu diserukan para rasul kepada kaumnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Nabi Yusuf ‘alaihis salam yang tercantum dalam ayat (yang artinya), “Tidak ada hukum kecuali milik Allah, Allah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya.” (Yusuf : 40) (lihat keterangan Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam kitabnya Qurratu ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 4)
Konsekuensi makna kalimat tauhid itu adalah tidak boleh berdoa kepada selain Allah, tidak beristighotsah/meminta diselamatkan dari musibah yang telah menimpa kecuali kepada Allah, tidak menyembelih -dalam rangka ibadah- kepada selain Allah, tidak bernazar selain untuk Allah, dan tidak memalingkan suatu bentuk ibadah apa pun kepada selain Allah (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Syarh ad-Durus al-Muhimmah, hal. 37)